Saya pernah menggembalakan kerbau. Itik juga. Waktu itu masih kelas 5.
Karena melihat anak-anak lain jalan-jalan dengan kerbaunya, saya jadi pengen juga. Waktu itu kerbaunya ditaruh di dapur, mungkin biar makin sulit klo mau dicuri. Satu ekor saja.
Pagi-pagi sekali, kerbaunya saya bawa cari rumput. Ini sebenarnya ga boleh, klo ketahuan pasti ga izinin. Atau dimarahin.
Setelah saya keluarin dari dapur baru saya sadar, ternyata kerbau itu besar sekali. Saat kesulitan naik punggungnya, sama orang yang lihatin diajarin klo naik dari kepalanya. Lebih mudah klo sambil pegangan di tanduknya.
Kerbaunya saya bawa ke persawahan, makan rumput disitu. Setelah kerbaunya ga makan lagi, saya bawa ke parit. Dimandiin. Sekalian juga saya main air.
Parit itu modelnya seperti jurang. Untuk sampe ke airnya, mesti turun dulu sekitar tujuh meteran. Mau pulang, baru kerasa azabnya, itu kerbau ga mau naik, ga bisa keluar dari parit.
Saya pukul pantatnya, ga maju-maju. Saya tarik, malah kasihan, muncungnya saja yang ketarik, badannya tetap dalam air. Untuk ini saya sampe berdoa. Kerbaunya saya temani sambil nunggu pertolongan.
Benaran, saya sudah dicari-cari. Dari jauh bapak sudah teriak supaya pulang. Tapi sambil ketakutan saya jawab klo kerbaunya ga mau pulang. Setelah dekat baru dibalas, bapak ajarin.
Sama bapak diajarin, kurang lebih seperti ini: Kamu ngomong saja, jadi contoh, ntar dia ikut. Ga usah dipaksa.
Talinya saya lepas, saya bilang sama kerbaunya, 'ayok pulang', sambil saya sendiri naik. Itu kerbau ternyata bisa naik sendiri.
Di rumah saya ga dimarahin karena menggembala. Dimarahinnya karena naik ke punggung kerbau dari kepala. Bahaya katanya. Klo ga nyaman, kerbaunya bisa menanduk.
- PMTB