Pernah suatu ketika saya terlibat pertengkaran hebat dengan adik bungsu saya, cowok, waktu itu dianya masih kelas VII. Saya rasa masalahnya sederhana, kaosnya, hitam, digeletakkan di salah satu kursi di teras belakang, yang mana merupakan spot favorit sekeluarga. Udah compang-camping, basah pula karna keringat. Saya panggil-panggil supaya dibereskan, eh jawabnya "Nanti," "Nanti." Sambil meneruskan bermain bertelanjangdada.
Kesal, saya bereskan sendiri, saya buang. Bukan ke tempat sampah, tapi ke lantai satu. Setidaknya klo mau diambilnya, mesti turun ke bawah. Ya iyalah, yang namanya turun pasti ke bawah. Hahahah.
Yang saya kira sepele ternyata engga. Dia marah besar. Harus saya yang turun. "Ko gila kah?" Gitu jawab saya. "Siapa suruh ko taruh di sini. Udah koyak sana-sini juga. Beli saja yang baru." Ga nyerah, beliau berusaha menggunakan cara-cara preman. Sayang, saya masih lebih jago. Hahahah. Berlalu sambil menangis, saya lanjutkan stalking timeline kamu. Uhuk!
Beliau benar-benar niat balas dendam, barang-barang saya dibuang ke luar kamar, termasuk pemberian saya. Agak sedih sih, tapi sangat marah. Saya kejar dia. Mama yang lagi menggoreng ikan langsung menghadang*, spatulanya diarahkan tepat di depan wajah saya. Kurang lebih gini omongan mama ke saya, "Ko ini, adikmu itu sama dengan kau. Yang berharga menurutmu belum tentu sama dengan orang lain." Dor! Rasanya seperti ditolak pujaan hati - karena berwajah jelek.
Saya jadi teringat kejadian-kejadian serupa di masa-masa yang lalu, seperti sepatu, kets warrior, ga kece, tapi suka, mungkin karena ringkas. Ciremai dan Gede udah dicapainya. Klo rusak misal satunya, tinggal dicari pasangannya. Di kosan banyak. Di kosan teman-teman lebih banyak lagi. Gratis!
Jam tangan, dari mama, walaupun sering rusak karna spesifikasinya ga sesuai dengan aktivitas saya. Kemarin saja ongkos servisnya udah 400, hampir setengah dari harga barunya. Jadi per tahun ongkos servis resminya naik hampir 100 persen. Syit! Tapi gimana ya, udah sayang. Panorama bawah laut Raja Ampat udah dinikmatinya. Bandingkan dengan kamu. Cih! Hahahah.
Cover hape! Dikasih teman. Dikira bapak dari pacar saya, karena udah jelek, dekil, tapi ga diganti-ganti. Bapak selalu ketawa klo melihatnya. Itu alasannya.
Juga prinsip. "Kok kamu mau lembur? Kan ga ada honornya. Beresin kerjaan orang pula." Padahal kan prinsip. Rasanya gimana gitu jadi manusia tanpa prinsip. Mungkin sama dengan Rossi tanpa YZR-M1, atau Jack Daniel’s tanpa Cocacola, atau Kasi. Sosial tanpa stafnya. Hahahah! Yang terakhir bikin ngakak guling-guling. Padahal namanya kerja konsekuensinya ada dua, klo ga dapat duit, ya dapat amal. Syaratnya ga ngeluh! Hahahah. Kerja, kerja, kerja! Untungnya sering ga sendiri, ada mas An***drie menemani. Dududududu. Hahahah. Teguh sama prinsip, walaupun sering keteteran.
- EDDX
*)Ternyata menurut KBBI, yang benar adalah “mengadang,” dari kata dasar “adang.” Padahal kan kerenan “menghadang.” Begitu juga dengan “himbau” seharusnya “imbau,” “hisap” seharusnya “isap,” “ handal” seharusnya “andal,” “hingar binger” seharusnya “ingar binger,” dll.
No comments:
Post a Comment